About

JADILAH SEPERTI YANG KAMU INGINKAN, KARENA ANDA HANYA MEMILIKI SATU KEHIDUPAN DAN SATU KESEMPATAN UNTUK MELAKUKAN YANG INGIN ANDA LAKUKAN: Doa memberikan kekuatan pada orang yang lemah, membuat orang tidak percaya menjadi percaya dan memberikan keberanian pada orang yang ketakutan:SAHABAT SEJATI ADALAH MEREKA YANG SANGGUP BERADA DI SISIMU KETIKA KAMU MEMERLUKAN DUKUNGAN WALAUPUN SAAT ITU MEREKA BISA MEMILIH BERADA DI TEMPAT LAIN YANG LEBIH MENYENANGKAN: Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi sering kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.

Kamis, 29 September 2011

KEDUDUKAN DAN PERAN PEREMPUAN DI TENGAH KELUARGA DAN MASYARAKAT PADA UMUMNYA

BAB II
A. Kedudukan Perempuan dalam Keluarga dan Masyarakat
Kedudukan kaum perempuan di tengah keluarga dan masyarakat dapat
menentukan sejauhmana per an yang dapat atau sedang dimainkan oleh perempuan.
Ternyata di tengah situasi hidup dan jaman yang selalu berubah, kedudukan
perempuan dapat menjadi hambatan dan rintangan bagi perempuan untuk berperan
secara penuh di tengah keluarga dan masyarakat. Kedudukan perempuan yang ditempatkan lebih rendah dari kedudukan laki-laki, sekaligus menjadi tantangan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya di tengah hidup yang menuntut kesetaraan.

1. Per bedaan Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga dan Masyarakat
Peran perempuan dalam keluarga dan peran perempuan dalam masyarakat sangat ditentukan o leh kedudukannya baik dalam keluarga, maupun dalam masyarakat. Dengan kata lain, per an seseo rang ditentukan oleh kedudukannya, karena kedudukan, seseorang mendapatkan wewenang untuk melaksanakan fungsinya sesuai dengan kedudukannya. Misalnya, seo rang pejabat bisa melaksanakan fungsinya karena wewenang yang diberikan atau diterimanya.Demikan pula dengan peran perempuan di tengah keluarga dan di tengah masyarakat tergantung pada kedudukannya di dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Menurut Nunuk Murniati, seseorang atau kelompok dapat berperan sesuai dengan kemampuannya apabila ia atau mereka mempunyai wewenang untuk melaksanakan fungsinya. Wewenang merupakan hak untuk menentukan sesuatu atau memutuskan sesuatu, maka wewenang sangat erat hubungannya dengan kedudukan seseorang atau kelompo k orang (Nunuk Murniati, 1997: 81). Dengan kata lain, kedudukan sesorang turut menentukan pengaruhnya secara optimal terhadap lingkungannya. Misalnya ketika perempuan hanya ditempatkan sebagai ibu rumah tangga, maka peran yang dimainkannya hanya mempengaruhi atau memberikan sumbangan khusus bagi lingkup keluarganya saja atau hanya terbatas dalam ruang lingkup keluarga. Sedangkan laki-laki yang ditempatkan sebagai kepala keluarga memiliki kedudukan atau wewenang yang lebih besar dibandingkan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Dalam arti tertentu, laki-laki memiliki kekuasaan lebih atas isterinya dan anak-anaknya. Sehingga keputusan selalu di tangan laki-laki. Misalnya, apakah isterinya bo leh atau tidak mencari nafkah atau
bekerja, menyangkut pendidikan dan masa depan anak-anak, khususnya anak laki-laki dan anak perempuan, bahkan sampai masalah kebutuhan bio logis pun ditentukan oleh kaum laki-laki. Oleh sebab itu, kedudukan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat sangat menentukan ruang gerak dan per annya dalam keseluruhan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Dalam keluarga kedudukan dan peran perempuan dan laki-laki seringkali dibedakan atau dikontraskan. Misalnya, kaum perempuan dipandang dan dianggap sebagai yang mempunyai tugas, peranan dan tanggung jawab besar dalam keluarga. Mereka harus melayani suami dengan setia, mendidik anak-anak dengan baik, pokoknya melaksanakan semua kebutuhan dan keperluan rumah tangga, dari memasak, menyiapkan makanan, mencuci, menyetrika, melayani tamu,membersihkan rumah, dan masih banyak lagi status yang harus disandang kaum perempuan. Sedangkan kaum laki, dipercayakan untuk menghidupi keluarganya dengan mengusahkan nafkah baik lahir maupun batin. Persoalan do mestikasi merupakan persoalan yang seringkali ditemukan dan menjadi bahan kajian, diskusi bahkan perdebatan banyak kalangan, baik perempuan maupun laki-laki.

Demikian pula dalam masyarakat, kaum perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda sesuai dengan kedudukan yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi mereka. Misalnya, terdapat perbedaan pekerjaan yang dilakukan mereka dalam kelompoknya, juga status dan kekuasaan yang dimiliki tidak sama. Menurut Mo sse ada beberapa fakto r yang mengakibatk an perbedaan peran dalam masyarakat, mulai dari lingkungan alam, hingga cerita dan mitos-mitos yang digunakan untuk memecahkan teka- teki perbedaan jenis kelamin, mengapa perbedaan itu tercipta dan bagaimana dua orang yang berlainan jenis kelamin dapat berhubungan dengan baik berdasarkan sumber daya alam di sekitarnya (Mosse,2004: 5).

Ternyata peran seseorang juga dipengaruhi oleh kelas sosial, usia dan latar belakang etnis. Misalnya di Inggris sekitar abab XIX, ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah. Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa anggapan tersebut hanya berlaku bagi perempuan kelas menengah dan kelas atas. Sedangkan kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai pembantu bagi kaum perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri. Contoh di atas memberikan gambaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran dan kedudukan yang berbeda baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Seperti yang telah diungkapkan bahwa salah satu topik yang banyak mengandung perdebatan di antara para pemerhati perempuan adalah mengenai persamaan dan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Pertanyaan yang selalu muncul adalah: “Apa yang lebih penting bagi pemberdayaan perempuan? Apakah pengakuan bahwa mereka sama dengan laki-laki ataukah pengakuan bahwa mereka berbeda dengan laki-laki?” Pengakuan bahwa perempuan dan laki-laki sama, yaitu sama-sama sebagai manusia yang mempunyai pikiran, perasaan dan pendapat,
memang dibutuhkan oleh perempuan, karena selama berabad-abad pengakuan tersebut disangkal. Namun ternyata isi dari pikiran, perasaan dan pendapat perempuan tidaklah sama dengan isi dari pikiran, perasaan dan pendapat laki-laki, karena peran mereka yang berbeda dalam keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, menurut Hardy, pengakuan akan perbedaan antara perempuan dan laki-laki menurut pengertian di atas sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan perempuan (Hardy, 1998: 121).
Menurut de Beauvoir, dalam budaya patriarki, kehidupan ekonomi, sosial dan politik perempuan bukan hanya dibatasi, melainkan juga tidak diakui, yang terjadi adalah perempuan hidup untuk menunjang kehidupan ekonomi, sosial dan politik laki-laki. Melalui institusi ekonomi, sosial, dan po litik, budaya patriarkat mencetak citra diri perempuan sesuai dengan citra ideal perempuan sebagai jenis kelamin kedua dalam pandangan patrialkal. Setidaknya ada empat institusi budaya patriarkat yang menurut de Beauvoir menguasai hidup perempuan dengan intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan fase hidup perempuan, yaitu fase balita, sekolah, remaja, perkawinan, dan hari tuanya. Keempat institusi ini saling melengkapi dalam menciptakan dunia perempuan sebagai dunia yang sudah pasti, statis atau dunia buatan yang tidak bisa diubah (de Beauvo ir, 2005: 48-50).Institusi-institusi yang dimaksudkan Beauvoir adalah:

a. Lembaga Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pertama kali yang menginternalisasikan nilai-nilai perempuan sebagai objek. Sejak kecil perempuan diajarkan untuk bergembira dengan cara menyenangkan o rang dewasa melalui sikap manja, manis, dan sopan. Sementara laki-laki, sejak kecil didorong untuk menjadi “laki-laki” dengan diajarkan untuk “tidak cengeng atau menangis, karena menangis hanya untuk anak perempuan”. Demikian pula sebaliknya, jika anak perempuan yang berlaku seperti laki-laki, misalnya bermain seperti laki-laki dianggap nakal, ia akan dicap sebagai anak tomboi. Perilaku seperti ini dianggap mengancam “keperempuanannya”. Sedangkan kenakalan anak laki-laki dipandang sebagai hal yang biasa dan tidak terlalu dipusingkan. Aktivitas anak perempuan pun dibatasi dalam rumah saja, terutama membantu ibu menyelesaikan pekerjaan rumah, sehingga sejak kecil anak laki-laki pun sudah diajarkan untuk menyadari bahwa tanggung jawab pekerjaan rumah tangga adalah menjadi bagian dari tanggungjawab perempuan (de Beauvoir,2005: 49).

b. Lembaga Pendidikan
Internalisasi nilai-nilai perempuan sebagai sosok yang santun atau sopan, dan manis serta selalu menyenangkan orang lain dilanjutkan oleh lembaga pendidikan. Di sekolah, melalui sikap para guru dan afirmasi dari teman-temannya,nilai inferioritas ini diinternalisasikan perempuan dengan semakin kuat (de Beauvoir, 2005: 49).

c. Lembaga Hukum Negara
Masyarakat ikut memperkuat internalisasi nilai-nilai inferior perempuan melalui mitos-mitos dan tata nilai yang mengharuskan perempuan sedapat mungkin melindungi tubuhnya dari tatapan laki-laki, bersikap santun, membiarkan laki-laki menggoda dan bersikap kurang ajar kepadanya. Sikap dan perilaku laki-laki yang demikian terhadap perempuan dianggap “memang laki-laki biasa begitu”. Pandangan dan perilaku yang tidak adil atau kekerasan yang dialami kaum perempuan dibenarkan o leh lembaga hukum, melalui pasal-pasalnya mengatur dan membatasi ruang gerak perempuan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara (de Beauvoir, 2005: 50).

d. Lembaga Perkawinan
Masyarakat patriarkal melihat lembaga perkawinan sebagai penjaga moral mereka dan merupakan satu-satunya lembaga yang secara moral membenarkan aktivitas seksual perempuan. Aktivitas seksual bagi perempuan dianggap sebagai wujud pelayanan tertinggi pada suami dan spesies manusia. Perempuan harus siap melayani kapan saja suaminya menginginkan tubuhnya. Menurut de Beauvoir, pembatasan budaya patriarkal terhadap kehidupan perempuan telah mencapai wilayah yang sangat pribadi dan mendasar, yaitu kemampuan perempuan untuk mengartikan sendiri kenikmatan yang dirasakannya melalui tubuhnya (de Beauvoir,2005: 52).

Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat merupakan akibat dari pembagian pekerjaan secara seksual. Peran perempuan selalu dikaitkan dengan ruang lingkup domestik, sedangkan peran laki-laki selalu dikaitkan dengan ruang lingkup publik. Peran-peran tersebut diajarkan pada anak perempuan dan laki-laki sejak dini, kecil, sehingga perbedaan peran secara seksual ini tampak alamiah. Kemudian melalui pranata-pranata dalam masyarakat peran tersebut mendapatkan legitimasinya (Hardy, 1998: 121).
Sedangkan dari perspektif gender melihat bahwa subordinasi perempuan dalam
sektor publik bukan karena faktor biologis, melainkan lebih diakibatkan oleh faktor kultur. Dalam perspektif gender, ko ndisi biologis sepanjang masa akan tetap sama,yakni terdiri dari laki-laki dan perempuan. Perbedaan bio logis itu menjadi
bermakna politis, eko no mis, dan sosial ketika tatanan kultural dalam masyarakat
mengenal pembagian kerja secara hirarkis antara perempuan dan laki-laki. Ketika
faktor kultural ditransfo rmasikan bersama fakto r bio logis ke dalam masalah sosial
dan politik, akhirnya menyebabkan subordinasi perempuan o leh laki-laki di sektor
publik maupun domestik. Dengan kata lain, kultur menjadi suatu simbo l dalam
penajaman perbedaan seksual (Freeman, 1970: 6). Sulit disangkal bahwa arus globalisasi telah mempengaruhi dan ikut mengubah gaya hidup masyarakat serta kebudayaan manusia jaman sekarang. Pengaruh dan perubahan tersebut turut membawa aneka pilihan bagi perempuan dalam berperan aktif di tengah-tengah keluarga, dan masyarakat.

2. Peran Perempuan dalam Keluarga
a. Konteks Historis
Bagaimana posisi kaum perempuan dalam keluarga di jaman sekarang?
Menurut. Suryakusuma ( 1981: 8) keluarga adalah penunjang suatu sistem masyarakat, melalui tiga cara, yakni:
1) Sebagai unit ekonomi, tempat untuk repro duksi, pembentukan angkatan kerja yang baru dan juga sebagai arena konsumsi; sehingga pekerjaan domestik,Seperti perempuan hamil, melahirkan, dan menyusui dipandang tidak produktif dan tidak bernilai. Per endahan fungsi reproduksi yang melekat pada perempuan, mengakibatkan perendahan nilai tenaga kerja perempuan (Nunuk Murniati, 2004: 260).
2) Sebagai tempat pembentukan kesatuan keluarga secara ideologis yang memiliki sistem nilai-nilai, kepercayaan, agama, tradisi, sosial, kebudayaan, dan juga konservatisme yang dipupuk dari kecil; unit terkecil dari bagian masyakarat ini,
melahirkan atau mencetak manusia-manusia seperti yang “diharapkan” atau ditentukan oleh masyarakat, melalui internalisasi nilai, no rma dan idiologi atau falsafah hidup yang dianut masyarakat.
3) Sebagai tempat terbentuknya suatu kesatuan “biososial”, yaitu terjadi hubungan
alamiah antara ibu-bapak-anak yang dikonstruksi secara sosial. Di sinilah bibit
konsep keunggulan laki-laki itu ditanamkan. Karena perempuan mempunyai “kodrat” tertentu, maka wajarlah bila fungsinya yang utama adalah di rumah untuk menangani masalah repro duksi, sosialisasi dan seksualitas.

Peran utama yang dimainkan oleh perempuan dalam lingkup keluarga adalah berlaku sebagai seorang isteri yang mendampingi seorang laki-laki sebagai suaminya. Di samping sebagai isteri, ia juga menjadi ibu bagi anak-anak yang lahir dari rahimnya. Setereotif peran perempuan sebagai yang memelihara anak, menguru s suami dan membereskan urusan rumah tangga sudah menjadi bahasa sehari-hari atau ter paksa dihayati oleh kebanyakan perempuan. Sedangkan kaum laki-laki ditempatkan sebagai kepala keluarga yang berurusan dengan soal nafkah. Contohnya, d alam masyarakat Jawa, dikenal adanya mitos tentang peran perempuan, yaitu “ma-telu”, artinya tiga “ma”, yakni masak, artinya memasak, macak, artinya berhias dan manak, artinya melahirkan. Ketiga peran ini menempatkan kaum perempuan dalam ruang lingkup domestik, yaitu sebagai ibu yang baik yang hanya berperan dalam keluarga atau rumah tangga. Sedangkan kaum laki-laki memiliki lima peran yang dilawankan dengan mitos peran perempuan di atas, yakni “ma-lima”. Mito s ini berisi lima kenikmatan yang secara kultural dipahami dan diterima sebagai kecenderungan yang melekat pada kaum
berjenis laki-laki. Lima “ma”, yaitu: main, minum, madat, maling dan madon, yang
sama artinya dengan, judi, minum, mengisap candu, mencuri, dan main perempuan.
Betapa pun peran-peran jenis tersebut berupa mitos atau prasangka, namun pembedaan peran antara perempuan dan laki-laki yang diskriminatif tersebut telah menjadi bagian dari perbincangan yang sepihak dan tidak komunikatif dalam hidup sehari-hari di tengah-tengah masyarakat (Primariantari, dkk, 1998: 8). Mosse mengatakan bahwa ibu rumah tangga di selur uh dunia telah melakukan berbagai macam tugas yang memiliki satu kesamaan atau mata rantai rumah dengan penghuninya. Merek a merawat anak, memenuhi suplai pangan keluarga, baik dari ladang keluarga maupun pasar swalayan setempat. Mereka mencuci pakaian, di sungai atau dengan mesin cuci. Mereka juga ikut memberi sendikit penghasilan bagi keluarga melalui pekerjaan paruh waktu dengan upah rendah yang tidak membahayakan pekerjaan utamanya, yakni mengurus rumah
tangga dan keluarganya. Namun hal yang terpenting mengenai ibu rumah tangga,
yang mempertautkan mereka di seluruh dunia, bukanlah apa yang dilakukan oleh
mereka, melainkan keadaan dan hubungan dimana mereka melakukannya. Menurut Mosse, pek erjaan rumah tangga merupakan salah satu aspek pembagian kerja berdasarkan gender, dimana laki-laki cenderung melakukan pekerjaan yang dibayar, dan perempuan mengerjakan pekerjaan yang tidak dibayar. Maka, tidak mengherankan pekerjaan perempuan sebagai ibu rumah tangga seringkali dinilai rendah (Mosse, 2004: 45).
Sebagian besar perempuan sampai sekar ang cenderung lebih banyak berperan di sektor domestik, yakni melaksanakan tugas rumah tangga yang notabene tidak menghasilkan uang. Namun harus diakui pula bahwa kesedian perempuan melaksanakan tugas do mestik, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci, menyetrika dan lain sebagainya itu, sebenarnya berfungsi positif bagi kaum laki-laki, yakni memiliki kesempatan untuk dapat terlibat dalam sektor publik, namun kenyataan ini tetap saja bersifat counter productive, karena mematikan hak-hak perempuan yang ingin mengekspresikan kemampuan atau potensinya (Suyanto dan Susanti, 1996: 87).

b. Perubahan sosial dalam masyarakat
Proses industrialisasi dan kemajuan teknologi informasi telah membawa dampak pada perubahan sosialisasi peran perempuan dalam keluarga. Demikian pula dengan dampak dari modernisasi dan industrialisasi dalam masyarakat Indonesia telah membawa perubahan dalam per an perempuan, baik di tengah keluarga, maupun dalam masyarakat. Jumlah kaum perempuan yang bekerja di luar rumah, misalnya di pabrik-pabrik, semakin meningkat, diikuti pula oleh fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga. Dampak industrialisasi yang secara langsung telah mengubah peran perempuan dalam keluarga adalah dampak urbanisasi dan migrasi, dimana laki-laki dan perempuan pergi ke kota-kota atau ke luar negeri, meninggalkan keluarga, anak-anak dan orang tua untuk mencari pekerjaan dan nafkah yang sulit didapat di daerahnya. Keadaan ini memunculkan keluarga-keluarga dengan kepala keluarga tunggal, yaitu laki-laki atau perempuan. Di desa-desa, misalnya dapat dijumpai isteri-isteri yang memegang peran menyeluruh baik sebagai kepala keluarga, pencari nafkah, pengasuh dan pendidik anak serta mengurus rumah tangga. Singkatnya, proses industrialisasi dan kemajuan teknologi info rmasi membawa dampak pada
perubahan sosialisasi peran perempuan dalam keluarga, juga dalam masyarakat. Hal ini nyata dari semakin meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah, serta menjadi kepala rumah tangga. Jaman sekarang keluarga-keluarga pada umumnya terpencar di seluruh negeri. Hal ini, terjadi karena mobilitas sosial dan kesulitan mencari lowongan pekerjaan. Dimana tuntutan hidup semakin banyak, perempuan mengikuti karier atau suami mereka, sehingga harus tinggal jauh dari tempat asal mereka. Walaupun
tempat tinggal mereka berjauhan, namun dengan bantuan sarana ko munikasi yang semakin canggih, misalnya, telpon, telkom, dan alat transportasi yang lancar membuat mereka tetap merasakan kenyataan tentang diri mereka, sebagai satu keluarga. Walaupun tidak jarang kenyataan hidup seperti ini telah mengakibatkan banyak keluarga mengalami keretakan dan kehancuran. Ternyata, keadaan dan situasi hidup akhirnya membuat kaum perempuan harus memutuskan, mengerjakan dan melakukan apa pun yang selama ini merupakan tanggung jawab bersama antara suami-isteri atau laki-laki-perempuan(Wardah Hafidz, 1997: 27-28). Dengan kata lain, dorongan untuk mempertahankan hidup keluarga, terutama keluarga-keluarga miskin, mengakibatkan banyak perempuan “terpaksa” bekerja apa saja, misalnya di lahan pertanian, industr i-industr i atau pabrik-pabrik, dan di berbagai sektor ekonomi lainnya. Ketika perempuan bekerja di bidang pertanian, biasanya pertanian tradisional, mereka dianggap sebagai tenaga kerja keluarga, yang tugasnya hanyalah membantu, oleh sebab itu, mereka diberi upah rendah. Ketika muncul kebijakan yang terkenal dengan sebutan “revolusi hijau”, tenaga kerja perempuan di sekto r per tanian juga terpinggirkan dan digantikan dengan mesin-mesin yang memerlukan tenaga kerja laki-laki. Kondisi ini, memaksa banyak perempuan untuk keluar dari desa mereka, berimigrasi ke Kota-kota untuk bekerja di pabrik-pabrik industri makanan dan minuman. Kenyataan lain, menunjukkan bahwa peran perempuan “di luar rumah”,tidak hanya terbatas pada soal kelangsungan hidup atau sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup keluarga, karena ternyata ada banyak perempuan yang sudah mapan eko nomi keluarganya, tetapi masih berusaha “keluar rumah”. Fakta bahwa perempuan terlibat dalam berbagai kegiatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran dalam diri perempuan untuk memberikan sumbangan perannya bagi perubahan sosial. Motivasi kaum perempuan untuk “keluar ” rumah dan bekerja atau terlibat dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat merupakan bukti dari kesadaran kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri.
Singkatnya, perempuan jaman sekarang tidak lagi hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang menjalankan fungsi reproduksi, mengurus anak dan suami atau pekerjaan domestik lainnya, tetapi telah berubah seturut tuntutan hidup dan perubahan jaman serta berkat kesadaran baru yang muncul dari kaum perempuan sendiri untuk memperkembangkan hidupnya, keluarga dan masyarakatnya.

3. Peran Perempuan dalam Masyarakat
Demikian pula dengan peran perempuan di tengah-tengah masyarakat telah mengalami pergeseran yang signifikan. Dulu perempuan dipandang tabu untuk tampil di depan publik, namun sekarang ada banyak perempuan yang terlibat dalam bidang-bidang kemasyarakatan dan keorganisasian, perempuan mulai tampil dan mengisi ruang publik.
Per ubahan peran perempuan dalam masyarakat meru pakan bagian dari perubahan peran aktif perempuan dalam lingkup domestik atau dalam keluarga. Perempuan mulai mengambil peran dalam menentukan masa depan keluarga baik menyangkut masa depan anak-anak, ekonomi keluarga, pendidikan, maupun kesejahteraan seluruh anggota keluarga serta kesejahteraan masyarakat. Walaupun dalam kenyataannya belum seberapa banyak jumlah perempuan yang terlibat secara langsung dalam semua bidang kemasyarakatan.

a. Faktor-Faktor yang Mendukung Peran Aktif Perempuan dalam Masyarakat
Ada beberapa faktor yang mendukung atau menunjang peran aktif perempuan dalam keterlibatan di tengah-tengah masyarakat atau di ruang publik jaman sekarang, diantaranya:
1) Kesadaran Emansipasi
Perubahan peran perempuan yang terjadi dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan dari gerakan emansipasi dewasa ini. Dimana muncul kesadaran dalam diri perempuan bahwa mereka mempunyai hak pribadi lebih dari hak sebagai isteri. Tuntutan atas hak ini menjadikan kaum perempuan tidak puas berada di bawah suaminya. Tuntutan atas kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki mememiliki hak dan kebebasan sebagai pribadi yang sama sangat dipengaruhi oleh perjuangan gerakan feminis liberal di Amerika. Prinsip falsafah liberalisme, yakni semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, dan setiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama untuk memperkembangkan dirinya.
Per juangan kaum perempuan untuk menuntut hak yang sama dengan laki-laki telah menampakkan hasil yang signifikan, walaupun belum maksimal. Oleh sebab itu, dukungan dan per juangan semua pihak sangat menentukan dan mempengaruhi perjuangan perempuan dalam menuntut haknya yang sama dengan laki-laki. Hendaknya, baik laki-laki maupun perempuan, suami dan isteri, keluarga dan masyarakat, agama dan negara mendo ro ng ke arah tercapainya cita-cita emansipasi, supaya tidak ada lagi subordinasi terhadap salah satu spesies manusia, laki-laki atau perempuan, yang pada hakekatnya diciptakan memiliki harkat dan martabat sama di hadapan Sang Pencipta.

2) Visi Pembangunan Bangsa Indonesia Demi Kesejahteraan Rakyat
Hampir selur uh negara di dunia sekarang menyadari bahwa pembangunan manusia tidak akan bisa dicapai tanpa pemberdayaan dan kesetaraan gender.Menurut, Suyanto dan Susanti, kegiatan dan program pembangunan yang semata-mata mementingkan pertumbuhan ekonomi dan tidak memiliki visi gender, niscaya akan menimbulkan pemiskinan dan ketimpangan sosial (Suyanto dan Susanti, 1995:86).Peluang perempuan untuk keluar dari pekerjaan wilayah domestik didukung oleh upaya negara untuk memberdayakan kaum perempuan, misalnya tampak dari arahan dan kebijakan untuk pemberdayaan perempuan dalam GBHN 1999 bagian pertama, “Meningkatkan kedudukan dan per an perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender”.
Lewat konsep kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki dalam GBHN diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi dalam pembangunan. Walaupun dalam kenyataannya kebijakan negara tersebut mengandung kontr adiksi, karena di satu sisi negara tetap mempertahankan konsep perempuan sebagai ibu rumah tangga, sementara di sisi lain, kaum perempuan dido rong untuk bekerja di luar rumah.

b. Faktor-faktor yang Membatasi Peran Aktif Perempuan dalam Masyarakat
Di samping faktor yang menunjang, juga terdapat faktor-faktor yang membatasi atau menghambat peran kaum perempuan dalam masyarakat.
1) Pekerjaan Rumah Tangga Perempuan
Walaupun memiliki status atau kedudukan yang tinggi dalam masyarakat,kaum perempuan harus berhadapaan dengan segala persoalan berkaitan dengan urusan ru mah tangga. Peran secara seksual yang dikenakan masyarakat, menghambat keterlibatan perempuan secara optimal dalam berbagai bidang kehidupan kemasyarakatan. Menggunakan istilah Wolfman (1989: 29), perempuan harus memainkan “peran ganda”, walaupu n perempuan telah menduduki jabatan yang tidak bersifat tradisional, namun mereka harus pula melaksanakan tanggungjawab rumah tangga yang sifatnya tradisional.

2) Pemujaan machismo atau Pola Kultur Seksis
Machismo merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang sudah mengakar dalam seluruh struktur masyarakat. Paham atau pandangan semacam ini mempengaruhi kehidupan seksual, prokreatif, kerja dan kehidupan emosional perempuan serta menentukan hubungan kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Paham machisme dikuatkan oleh idio lo gi-idio logi tertentu yang lahir dari masyarakat, negara dan agama. Contohnya, ketika Megawati Sukarno Putri, yang kebetulan terlahir sebagai perempuan, hendak mencalonkan diri menjadi Presiden,ia harus berhadapan tidak hanya dengan lawan politiknya, tetapi juga paham agama yang tidak menghendaki seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki atau pemimpin negara. Muncul reaksi keras dari agamawan-agamawan dan masyarakat yang tidak menghendaki seorang perempuan menjadi pemimpin. Meskipun dijaman sekar ang banyak kaum perempuan telah dapat menduduki jabatan atau pekerjaan setara dengan kaum laki-laki, namun emansipasi perempuan masih harus berhadapan dengan reaksi keras dari kaum laki-laki yang masih mempo sisikan dirinya sebagai yang superior dan pandangan masyarakat tentang per an perempuan dan laki-laki yang berbeda.

3) Perspektif Negatif Perempuan terhadap Dirinya
Di jaman sekarang masih dijumpai banyak perempuan yang memandang rendah dirinya, lemah, tidak berdaya, inferior, tergantung pada laki-laki, tidak sepandai, seaktif, dan seproduktif laki-laki. Hal inilah yang memunculkan kendala bagi kaum perempuan untuk mengambilbagian secara total dalam kegiatan-kegiaan publik. Memang harus diakui bahwa perspektif perempuan yang negatif terhadap dirinya merupakan bagian dari ko nstruksi sosial yang lahir dari masyarakat pola patriarkal.

4) Struktur dan Pranata Sosial yang Bias Gender
Masyarakat dengan sistem nilai yang dianutnya telah melanggengkan situasi dimana kaum perempuan berada di bawah laki-laki. Setereotif-setereo tif negatif atau nilai-nilai yang mengandung bias gender telah merasuk ke dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan. Seperti keluarga, pendidikan, keagamaan, dan negara. Melalui struktur dan pranata sosial ini, manusia yang terlahir sebagai perempuan
dipandang sebagai makhluk kelas dua, lemah, tidak berdaya, perlu dilindungi atau
dalam istilah budaya patriarkal “dikuasai”, bahkan “diperbudak” (contoh kasus-
kasus Tenaga Kerja Wanita adalah perbudakan perempuan jaman moder n). Pencitraan diri perempuan sebagai yang ideal (menurut laki-laki) pada awalnya lahir dari pranata keluarga sebagai masyarakat inti bagian dari masyarakat.Kemudian diteruskan lagi dalam dunia pendidikan dengan internalisasi nilai-nilai dan wawasan berspektif gender. Selanjutnya, per empuan harus menyenangkan orang lain dengan membentuk keluarga ideal seperti yang diharapkan oleh masyarakat, agama dan negara yang adalah laki-laki.

B. Tantangan Peran Perempuan dalam Keluarga dan Masyarakat
Sering kali perempuan menjumpai masalah ketika melaksanakan perannya di tengah keluarga dan masyarakat. Akibatnya, po tensi dan talenta yang mereka miliki menjadi tidak berkembang dan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Kendala dan tantangan yang dihadapi oleh per empuan bisa saja datang dari diri perempuan itu sendiri, misalnya karena merasa diri lemah, malu, takut, kurang berani, dan tidak percaya diri. Namun juga bisa disebabkan oleh faktor dari luar dirinya, baik dari keluarga maupun masyarakat yang belum siap, bahkan menolak perempuan untuk terlibat secara penuh dalam bidang pekerjaan yang khususnya sering dianggap pekerjaan laki-laki.
Per ubahan peran perempuan di tengah keluarga dan masyarakat membawa konsekuensi tersendiri bagi kaum perempuan. Pertama, beban perempuan sebenarnya tidak menjadi berkurang dengan pilihan untuk bekerja di luar rumah,bahkan bisa dikatakan menjadi semakin berat, karena tanggung jawab antara tugas publik dan tugas domestik yang harus dijalankan bersama-sama. Kedua, perempuan harus berani bersaing dengan laki-laki, juga dengan sesama perempuan di pasar kerja yang terlanjur didominasi kaum laki-laki. Ketiga, berhadapan dengan beban di tempat kerja perempuan yang begitu ko mpleks, mulai dari rendahnya penghargaan atau gaji, pelecehan, sampai perlakuan tidak adil dari teman kerja laki-laki.

1. Tantangan Peran Perempuan dalam Keluarga
Tantangan yang dihadapi kaum perempuan dalam perannya di tengah-tengah keluarga tidak hanya berhadapan dengan faktor intern atau yang berasal dari dirinya sendiri, melainkan juga dari luar dirinya atau faktor esktern. Di tengah situasi hidup yang sulit d an penuh tantangan di jaman sekarang banyak keluarga yang harus menanggu ng beban hidup berkepanjangan. Dalam hal ini, kaum perempuan adalah so sok yang potensial untuk menanggung penderitaan hidup. Dengan bekal pendidikan yang pas-pasan atau malahan kurang, kehidupan ekonomi yang sulit atau tidak mencukupi keperluan sehari-hari, juga berhadapan dengan nilai dan norma yang telah dibuat dari perspektif laki-laki mengakibatkan banyak kaum perempuan tidak sempat berpikir atau menyadari keadaannya atau penderitaannya sebagai akibat dari sistem dan budaya patriarkal yang dianut oleh masyarakat, agama dan negara. Setereotif-setereotif yang telah terumus dalam berbagai nilai atau norma dan ideologi, baik dalam keluarga, sekolah, masyarakat, agama maupun negara melalui kebijakannya yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan telah menciptakan sosok perempuan yang minder, pasrah diri, lemah dan tidak berdaya, tergantung pada laki-laki, baik secara ekonomi, maupun psikologis (Arief Budiman, 1982: 33). Setereo tif-setereotif yang melekat dalam diri perempuan akhirnya melahirkan citra negatif perempuan terhadap dirinya. Memang bukan perkara kecil untuk mengubah stereotif-stereotif yang telah mengakar dalam seluruh kultur dan tatanan kemasyarakatan. Kesadaran diri perempuan akan realitas yang ada di sekitarnya termasuk kesadaran akan tubuhnya meru pakan salah satu jalan untuk mengubah citra dirinya sesuai dengan yang diidealkannya, bukan yang
diidealkan kaum laki-laki. Kesadaran diri yang baru muncul ketika perempuan
merefleksikan hidupnya sebagai seorang manusia yang memiliki harkat dan martabat serta kebebasan yang sama dengan laki-laki di hadapan Tuhan penciptanya. Perempuan pada masa kini memang sudah dapat mengejar ketinggalannya dari laki-laki, sehingga banyak yang mempunyai kedudukan sejajar dengan laki-laki. Sebagian lagi bahkan sudah mendapat kedudukan yang lebih tinggi dari laki-laki. Namun, banyak di antara mereka tidak menyadari bahwa hidup mereka dikontrol kembali oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama melalui feminitas mereka.
Tantangan lain yang harus dihadapi perempuan dalam keluarga adalah berhadapan dengan per an gandanya, baik sebagai ibu rumah tangga yang baik dan bagian dari masyarakat tempat ia mengabdikan hidupnya, di satu sisi ia dituntut untuk menyesuaikan dirinya dengan dunia laki-laki tempat dia bekerja, namun di sisi lain ia memikul tanggung jawab keluarga. Oleh sebab itu, ia dituntut untuk menyumbangkan keunikan dan kekhasannya di manapun ia berad a (Wolfman,1989: 108). Melalui karakternya sebagai pribadi yang unik diharapkan mempengaruhi dan membawa perubahan bagi hidup orang lain. Peran ganda seharusnya tidak boleh hanya dikenakan pada diri perempuan,
tetapi juga pada laki-laki. Peran sebagai ibu rumah tangga atau bapak rumah tangga hendaknya menjadi tanggung jawab laki-laki dan perempuan (suami-isteri). Tugas domestik bukan hanya menjadi tanggung jawab perempuan saja, melainkan tanggung jawab bersama. Peran domestik harus diker jakan bersama-sama, antara suami dan isteri. Dengan kata lain, tugas dan tanggung jawab ru mah tangga bukan mutlak ada di pundak perempuan, melainkan juga merupakan tugas dan tanggung jawab laki-laki. Oleh sebab itu, perlu adanya pemahaman yang sama antara laki-laki dan perempuan tentang kemitraan laki-laki dan perempuan (Retno wati, 2002: 72-73).

2. Tantangan Peran Perempuan di Tengah-Tengah Masyarakat
Tidak jarang pula tugas-tugas dalam keluarga dianggap sebagai penghambat utama bagi kaum perempuan untuk berperan aktif dalam masyarakat. Padahal, sesungguhnya keluarga bukan sebagai penghalang utama yang menghambat perempuan untuk berkarya di luar rumah. Karena yang terpenting adalah kemampuan mengelola waktu dan pembagian tugas yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini suami dan istri. Maka dibutuhkan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam menangani pekerjaan rumah tangga, sehingga baik laki-laki maupun perempuan dapat mengembangkan diri tanpa harus dibebani oleh tugas-tugas di rumah. Dalam hal ini, dibutuhkan kesadaran dari laki-laki untuk bertanggung jawab atas tugas domestik, agar tugas domestik tidak menjadi kendala bagi perempuan yang ingin berkarya di sektor publik. Untuk menghadapi sekaligus mengatasi kendala dan tantangan peran perempuan di tengah keluarga dan masyarakat, dibutuhkan bentuk-bentuk penyadaran kepada semua pihak, termasuk perempuan itu sendiri. Kesadaran yang perlu ditanamkan dalam diri perempuan adalah bahwa mereka juga dipanggil untuk berpartisipasi di semua bidang pekerjaan, karena pada dasarnya tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam berkarya. Dalam hal ini perempuan harus mempunyai keberanian dan mau belajar menumbuhkan kepercayaan diri, menghargai kemampuannya, tidak takut-takut atau ragu-ragu untuk berperan aktif. Dengan demikian, terjadi keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang kehidupan. Maka, perempuan ditantang untuk
mandiri dalam menghadapi segala persoalannya, tetapi bukan berarti perempuan
tidak membutuhkan laki-laki. Perempuan tetap membutuhkan kehadiran dan kerja sama dengan laki-laki,karena pada hakekatnya manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Namun yang terutama, perempuan harus memiliki keberanian, kepercayaan dan keyakinan,
bahwa dirinya bisa melakukan segala sesuatu yang terbaik bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat atau orang lain. Untuk dapat mencapai harapan ini, perempuan perlu secara terus-menerus meningkatkan kualitasnya. Berdiam diri dan hanya menunggu belas kasihan atau pertolongan orang lain, tidak akan membantu perempuan untuk maju dan bertumbuh (Retnowati, 2002: xi-xii). Kesempatan perempuan untuk berkarya di segala bidang kehidupan adalah hak yang melekat pada diri perempuan sejak ia diciptakan. Apabila dalam kenyataanya hak tersebut belum dipero leh kaum perempuan, maka perempuan sendirilah orang yang paling bisa memperjuangkan dan mengembalikan posisinya dari tidak berperan menjadi berperan, dari lemah menjadi kuat, dari tidak mampu menjadi mampu. Dengan kata lain, perempuan sendiri yang harus meningkatkan
kualitas dan membuktikan bahwa dirinya mempunyai hak dan tanggung jawab
yang sama dengan laki-laki sesuai dengan panggilan Allah (Retnowati, 2002: 65).
Di samping itu juga, perempuan perlu bekerjasama dan memperoleh dukungan dari
kaum laki-laki, karena perjungan kaum perempuan untuk menuntut kesetaraan
gender berhubungan langsung dengan masalah kaum laki-laki. Uraian dalalm bab ini telah memberikan gambaran singkat mengenai peran dan kedudukan perempuan di tengah keluarga dan masyarakat umumnya pada jaman sekarang. Berdasarkan pemahaman dari beberapa teori yang telah dikemukakan, berkaitan dengan perbedaan peran laki-laki dan perempuan di tengah keluarga dan masyarakat dapat disimpulkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya pembagian peran.

Pertama, faktor kultural, peran yang dijalani baik oleh laki-laki maupun perempuan merupakan bagian dari landasan kultur al dan tidak mudah diubah. Misalnya sejak kecil, dalam keluarga anak laki-laki dan perempuan telah dikondisikan dan dibentuk sedemikian rupa supaya mereka belajar menyukai diri sendiri dengan “kostum” yang dianggap tepat bagi mereka. Contohnya,perempuan tidak boleh cengeng, harus sopan, tidak boleh nakal, harus patuh pada orang tua, dan harus mengalah. Perempuan hanya ditempatkan dalam ruang domestik, seperti mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki ditempatkan dalam ruang publik, seperti mencari nafkah. Akhirnya, melalui konstruksi sosial perempuan terlahir untuk bertanggung jawab atas tugas domestik saja. Dengan
demikian, jelas bahwa ada pelestarian citra diri perempuan sesuai pola patriarkal
yang ada di masyarakat dalam diri anak-anak perempuan.Faktor kedua adalah berasal dari faktor struktural. Perbedaan yang telah direkonstruksi secara sosial akhirnya menempatkan laki-laki sebagai pemimpin (“pelindung”) perempuan, karena perempuan dianggap lebih lemah dan tidak berdaya. Dalam keluarga laki-laki berlaku sebagai kepala keluarga yang memiliki wewenang dan kuasa atas keluarga, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Dominasi laki-laki atas perempuan didukung dan dibenarkan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan, misalnya: keluarga, sekolah, dan lembaga keagamaan. Akhirnya, dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan secara struktural semakin berkembang dan menyebabkan kaum perempuan, baik secara sadar, maupun tidak
sadar menerima dan menyetujui kekuasaan laki-laki sebagai sesuatu yang wajar.

Di antara peran yang dimainkan oleh kaum perempuan, baik di tengah-tengah keluarga, maupun dalam masyarakat, bukan bertujuan untuk bersaing dengan kaum laki-laki, namun hal ini berlaku karena martabat dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Melalui kekhasan masing-masing dengan segala kelemahan dan kekurangannya laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi, meneguhkan dan memperkembangkan satu sama lain. Setelah mendapatkan gambaran mengenai kedudukan dan peran perempuan
dalam keluarga dan di tengah masyarakat, maka dalam bab berikutnya akan dibahas
mengenai kedudukan dan peran perempuan dalam Alkitab, baik Kitab Suci Perjanjian Lama, maupun Kitab Suci Perjanjian Baru.

0 komentar: