About

JADILAH SEPERTI YANG KAMU INGINKAN, KARENA ANDA HANYA MEMILIKI SATU KEHIDUPAN DAN SATU KESEMPATAN UNTUK MELAKUKAN YANG INGIN ANDA LAKUKAN: Doa memberikan kekuatan pada orang yang lemah, membuat orang tidak percaya menjadi percaya dan memberikan keberanian pada orang yang ketakutan:SAHABAT SEJATI ADALAH MEREKA YANG SANGGUP BERADA DI SISIMU KETIKA KAMU MEMERLUKAN DUKUNGAN WALAUPUN SAAT ITU MEREKA BISA MEMILIH BERADA DI TEMPAT LAIN YANG LEBIH MENYENANGKAN: Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi sering kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.

Kamis, 29 September 2011

Latar belakang

Menjelang abad-21 perkembangan dunia bergerak sangat cepat baik di
bidang teknologi, ilmu pengetahuan, struktur masyarakat dunia, kebudayaan
maupun paradigma-paradigma baru dalam memandang dunia. Maka muncul tema-
tema seputar masalah keadilan, hak asasi manusia, kemerdekaan, demo krasi,
emansipasi, solidaritas, lingkungan dan pluralitas (Iswanti, 2003: 81).
Salah satu tema yang menarik dan aktual di jaman sekarang adalah
berkaitan dengan emansipasi kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan
baik keluarg a, bermasyarakat maupun beragama. Kesadaran perempuan akan
perannya yang sama dengan laki-laki telah melahirkan gerakan-gerakan perjuangan
gender. Gerakan penyadar an kaum perempuan akan status dan perannya banyak
dipengaruhi oleh ide-ide tentang kebebasan manusia yang merupakan kerinduan
universal selur uh manusia dan per kembangan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya
gerakan emansipasi perempuan berusaha untuk mengupayakan penghargaan
martabat perempuan selaku pribadi (Murtiwi, 2004: 19-20). Dengan kata lain,
kesetaraan berarti menerima dan menghargai semua perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, terutama perbedaan peran dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu
kesetar aan juga berarti mengakui hak untuk berbeda antara laki-laki dan
perempuan.

Menurut kaum feminis, ketidakadilan gender bersumber pada budaya
patriarkal. Selama berabad-abad budaya tersebut telah menempatkan laki-laki
sebagai pusat sejarah kehidupan. Budaya patriarkal secara riil diperkuat o leh sistem
politik dan ekonomi kapitalis yang berkembang sekitar abad XVIII. Dalam budaya
patriarkal tersebut perempuan dinomorduakan, dianggap tidak setara dengan laki-
laki. Maka sebenarnya gerakan kaum feminis berupaya membangkitkan kesadaran
kaum perempuan atas situasi tidak adil. Tujuannya adalah supaya perempuan berani
bersuara, diperlakukan setara dengan laki-laki dan bersikap kritis mempertanyakan
kebenaran sejarah yang selama ini lebih menonjolkan peran laki-laki (Mite, 2001:
38) . Maka berbicara tentang feminisme berarti selalu berhubungan dengan
pemahaman hak, peranan, tugas dan tanggung jawab kaum perempuan. Pada saat
ini pemahaman serta pengakuan terhadap pentingnya peran perempuan dalam
keluarga, masyarakat dan Gereja Kato lik tampak masih kurang, hal ini berlaku,
baik untuk perempuan itu sendiri, maupun bagi pihak laki-laki.

Tentu saja tema-tema yang diperbincangkan dan diperjuangkan turut
mempengaruhi ruang gerak Gereja Katolik dalam karya perutusannya di tengah-
tengah dunia dewasa ini. Sebagaimana ditegaskan oleh Gereja Pasca Konsili
Vatikan II bahwa Gereja mengupayakan untuk berd ialog dengan siapa saja yang
berkehendak baik. Maka Gereja hendaknya tur ut berjuang menanggap i masalah-
masalah yang dihadapi dunia modern. Tugas utama Gereja pertama-tama adalah
memahami pewahyuan diri Allah bagi dirinya, sehingga dari pemahaman itu muncul
tugas lain, yakni memberikan kesaksian bagi orang lain (Darmawijaya, 1991: 114).

Agama Katolik melalui Konsili Vatikan II, mengajak berdialog dengan
gerakan-ger akan di tengah-tengah masyarakat, dan senantiasa memahami tanda-
tanda jaman sebagai realitas ko nkret dunia. Artinya, iman kepada Allah mendapat
wujud yang konkret dalam keterbukaan kepada dunia. Dengan kata lain, iman baru
mendapat wujud yang konkret dalam dunia kalau umat Kristiani memiliki
kepedulian terhadap nasib umat manusia yang mengalami ketidakadilan dalam
berbagai bidang kehidupan (Mite, 2001: 38-39).

Kekristenan tidak luput pula dari konteks budaya partriarkal. Hal ini
tampak dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru yang sangat dipengaruhi oleh budaya
patriarkal. Para penafsir Kitab Suci yang adalah laki-laki juga memahami dan
memandang Yesus sebagai laki-laki yang melegitimasi budaya patriarkal, misalnya
melalui tindakan Yesus memilih kaum laki-laki dalam kelompo k dua belas rasul.
Tidak mengherankan pula, jika para murid perempuan hanya dilihat sebagai
pelayan rumah dan keramahtamahan (bdk Luk 10:38-42). Demikian pula
perumpamaan-perumpamaan diwarnai corak maskulinitas, misalnya dalam mukjizat
penggandaan roti dikatakan “yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak
termasuk perempuan dan anak-anak” (Mat 14:21). Hanya laki-laki yang dihitung,
sedangkan perempuan disamakan dengan anak-anak. Lalu bagaimana dengan sikap
Yesus sendiri, apakah Ia juga membuat diskriminasi terhadap kaum perempuan?
Sebenarnya Yesus sendiri berusaha keras untuk tetap memper juangkan
kesetaraan dan kesamaan antara perempuan dan laki-laki. Ia membuat pandangan
baru di tengah masyarakat mengenai citra perempuan, Ia berusaha mengangkat
martabat p erempuan. Dalam masyarakat Yahudi, pemisahan laki-laki dan perempuan, secara khusus di tempat umum sangat ditekankan. Kehadiran Yesus
justr u mendo brak tradisi ini, Ia mau berbicara dengan perempuan Samaria di
tempat umum (Yoh 4:1-42) . Para perempuan pun diikutsertakan dalam pelayanan
dan pewartaan-Nya, misalnya, Maria Magdalena, Maria Ibu Yakobus Muda dan
Yoses, serta Salome dengan setia mengikuti-Nya dari Galilea sampai ke
Yerusalem, bahkan sampai di bawah kaki kayu salib (Mrk 15:40-41), ada beberapa
perempuan melayani Yesus dengan kekayaan mereka (Luk 8:2-3) . Harus diakui
pula bahwa para perempuanlah yang senantiasa setia mengikuti Yesus sampai di
bawah kayu salib (Mat 27:55-57; Mrk 15:40-41), sementara para murid laki-laki
ketakutan dan melarikan diri meninggalkan Yesus (Mat 26:56; Mrk 14:50; Luk
23:49; Yo h 19:25). Juga perlakuan Yesus terahadap ibu-Nya menunjukkan betapa
Ia menghormati perempuan dalam hidup-Nya. Jika kedua belas rasul mengejar-
ngejar kesuksesan dan kedudukan terhormat (Luk 9:46; Mat 18:1; Mrk 9:34), para
perempuan justru mengupayakan pelayanan (Luk 8:2-3). Keistimewaan lain, dari
para perempuan di sekitar Yesus adalah bahwa mereka dipercayakan untuk menjadi
pewarta pertama kebangkitan Kristus (Yoh 20:11-18). Bagi Yesus keputusan dan
sikap batin merupakan segala-galanya dibandingkan fakta bahwa seseo rang itu laki-
laki atau perempuan.
Paulus sendiri tidak setuju mengenai pendapat atau pandangan umum dalam
masyarakatnya yang menganggap perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal ini
tampak dari pendirian Paulus sehubungan dengan peran perempuan dalam
pertemuan jemaat. Ia menolak pendapat dan tradisi yang melarang perempuan
berbicara dalam pertemuan jemaat (1Kor 14:33b-36) , dengan mengatakan:

“Apakah Tuhan hanya bersabda kep ada kaum laki-laki saja? Atau apak ah sabda
Allah datang dari laki-laki? (1Kor 14:36). Menurut Paulus dalam suratnya kepada
jemaat di Galatia segala bentuk diskriminasi dihapus o leh Kristus, baik suku dan
bangsa, maupun golongan sosial, bahkan perbedaan antar a laki-laki dan perempuan
tidak penting lagi, karena semua o rang sama dalam Kristus (Galatia 3:27-28).
Menurut Jacobs, ada dua kesimpulan yang dapat diambil dari ajaran Santo Paulus
mengenai kedudukan dan peran perempuan, pertama bahwa perempuan
mempunyai fungsi dan tugas dalam jemaat, hal ini dikatakan dengan sangat jelas
dalam 1 Ko r 14:36-37; 11:3-12. Di samping berbicara soal bagaimana perempuan
harus menampilkan diri, Paulus juga berkata bahwa perempuan mempunyai tugas
“berdoa dan menyampaikan Sabda Allah”. Kedua, menurut Paulus perempuan
harus melaksanakan tugas dan per annya dengan kekhasannya sebagai perempuan.
Karena kekhasan dalam martabat dan kekhasan panggilan tidak berarti kesamaan
dalam penampilan dan tingkah laku. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam pergaulan dan penampilan di mukan jemaat harus dipertahankan, sesuai
dengan sop an santun dan adat istiadat dalam masyarakat (Jacobs, 1981: 310-214).
Dalam praksis Gereja jaman sekarang ada banyak dokumen Gereja yang
berbicara tentang masalah perempuan, terutama mengenai panggilan perempuan.
Masalah dan panggilan perempuan banyak dibahas dalam ajaran sosial Gereja yang
dikeluarkan sejak tahun 1891-1991, dari Rerum Novarum hingga Centesimus
Annus. Do kumen-do kumen Gereja yang menyinggung masalah perempuan, antara
lain berbicara soal perempuan dan kerja (RN, art. 43; LE, art. 19; CA, art 7 dan
33) , kesamaan hak diberikan kepada perempuan (GS, art. 9), tentang undang-undang bagi perempuan (OA, art. 13), hak-hak perempuan (GS, art. 29), juga
tentang peran seorang ibu berhadapan dengan keluarga dan masyarakat (LA, art.
19). Kemudian Sollicitudo Rei Socialis (art. 25), menjelaskan mengenai
pembatasan kelahiran secara sistematis o leh negara bertentangan dengan jati diri
budaya, maupun keagamaan, serta sifat pengembangan yang sejati (Hard awiryana,
1999).

Ada tiga dokumen Gereja yang secara khusus memuat masalah perempuan
atau berkaitan dengan perempuan, yaitu, Surat Apo stolik Paus Yohanes Paulus II
dalam Mulieris Dignitatem (Mar tabat dan Panggilan Wanita), Anjuran Aposto lik
Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio (Peranan Keluar ga Kristen
dalam Dunia Modern), Ensiklik Paus Paulus VI dalam Humanae Vitae (ajaran
mo ral Gereja di antar anya mengenai larangan dan hukuman bagi tindakan aborsi
serta pemakaian alat ko ntrasepsi).
Menurut Iswanti, sifat universal Agama Katolik tampak cukup membantu
perempuan-perempuan dalam Gereja Kato lik mengenali isu-isu utama seputar
masalah perempuan dalam Gereaja Kato lik serta konteks lokal yang berkaitan
dengan ketidakadilan terhadap perempuan. Kenyataan lainnya, diskusi atau pun
perbincangan mengenai masalah perempuan dalam Gereja memiliki tempat atau
lahan subur dalam gerakan dan dialog feminis. Alasannya, pertama, sulit
menemukan tempat dalam Gereja Katolik untuk membicarakan masalah ini. Dan
alasan kedua, perempuan Katolik menemukan sekutunya, yaitu perempuan-
perempuan kristen lainnya yang juga mengalami masalah serupa, maka dalam
perkembangan kemudian tampak bahwa perempuan Katolik mengalami kesulitan struktural paling dalam dibandingkan perempuan kristen lainnya, yang justru
mengalami kemajuan dan perubahan cukup pesat (Iswanti, 2003: 21).
Lalu bagaimana mewujudkan panggilan per empuan sebagai bagian dar i
”Tubuh Kristus” dalam situasi masyarakat dan keberadaan perempuan yang masih
mengalami perlakuan tidak adil dan diskriminasi? Dalam rangka karya perutusan
Gereja masa kini, tampak bahwa kaum perempuan belum secara maksimal atau
optimal menjalani panggilan dan perutusannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, kurangnya kesadaran dalam diri perempuan untuk memberikan diri
sepenuhnya bagi Gereja, karena peran ganda yang dimiliki, (misalnya, sebagai ibu
rumah tangga atau sebagai isteri, ia harus mengurus semua kebutuhan rumah
tangga, dari memasak, mencuci, menyiapkan makan keluarga sampai mengurus
anak dan suami. Belum lagi sebagai warga masyarakat, ia harus berperan sebagai
warga yang baik dan mengambilbagian dalam masalah sosial kemasyarakatan), atau
disebabkan oleh masih kentalnya budaya patriarki dan rendahnya kedudukan
perempuan dalam Gereja. Perempuan masih dianggap warga Gereja kelas dua yang
hanya mengurusi konsumsi atau menyiapkan berbagai keperluan rumah tangga jika
ada acara Gereja atau kegiatan laki-laki dalam Gereja. Masih ada kesan bahwa
tugas pewartaan atau memberikan kesaksian hidup dalam Gereja di tengah
masyarakat dan dunia adalah panggilan laki-laki, bukan panggilan kaum
perempuan.
Tugas Gereja dalam perutusannya adalah mewartakan “Kabar Gembira”,
yakni warta keselamatan dan pembebasan yang datang dari Allah melalui Putera-
Nya yang tunggal, Yesus Kristus yang dikandung o leh Ro h Kudus dan dilahirkan

oleh Perawan Maria. Maka pewartaan kristen sebenarnya harus menjadi sebuah
cerita tentang Allah yang hadir menyertai manusia dan membebaskannya dari
pelbagai situasi yang membelenggu. Maka ada dua jalan yang harus ditempuh:
pertama, wahyu Allah itu harus disesuaikan dengan situasi dan budaya masyarakat
tertentu. Karena wahyu Allah itu bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis
coco k untuk segala situasi dan jaman. Jika wahyu Allah itu diajarkan sebagai
kebenaran abadi dalam arti tidak bo leh ditafsir lagi sesuai dengan pengalaman
manusiawi, maka akan muncul bahaya bahwa manusia tidak sanggup lagi untuk
menilai war ta Allah sebagai Kabar Gembira yang membebaskan. Kedua, dengan
cara menelaah situasi lebih dahulu, menganalisa dan menerangkannya dalam terang
Wahyu Allah. Maka realitas perlu direfleksikan dari perspektif iman. Hanya dengan
demikian, kehadiran Tuhan yang konkret dan menyelamatkan dunia dapat dipahami
dengan lebih mudah (Abun, 1994: 163).
Tantangan yang dihadapi Gereja jaman sekarang tidak hanya modernisasi
dan globalisasi yang telah melahirkan aneka “isme”, seperti sekularisme,
ko nsumerisme, ateisme, hedonisme, individualisme, serta isme-isme lainnya yang
seringkali tidak memperhitungkan kehadiran Tuhan dalam hidup, tetapi juga
tantangan di seputar tema-tema aktual yang sedang diperjuangkan seluruh umat
manusia dewasa ini, seperti keadilan, perdamaian, hak asasi manusia, demo krasi,
kemerdekaan, emansipasi, ekolo gi dan pluralitas agama, suku, budaya dan bangsa.
Oleh sebab itu, gerakan emansipasi perempuan merupakan salah satu dari sekian
banyak “tanda-tanda jaman” yang hendaknya ditanggapi dalam terang wahyu iman
akan Yesus Kristus Sang Pembebas Sejati. Karena di dalam Kitab Suci, khususnya

Kitab Suci Perjanjian Baru dapat ditemukan sikap dan perlakuan Yesus yang
bijaksana dalam memandang dan mengajak kaum perempuan untuk ter libat dalam
karya penyelamatan Allah yang nyata dalam diri-Nya. Selama hidup-Nya, Yesus
telah memperlihatkan sikap yang terbuka terhadap kaum perempuan yang diciptakan secitra dengan Allah, sama seperti kaum laki-laki (Mat 19:4; Mrk 10:6).
Dengan demikian, semua anggota Gereja, yakni semua orang yang terguyubkan
dalam iman akan Allah Bapa yang diwahyukan melalui Yesus Kristus, Sang Putera,
dalam kekuatan Roh Kudus-Nya (Mardiatmadja, 2000: 35), baik laki-laki maupun
perempuan dipanggil secara khusus menurut kekhasannya masing-masing untuk
memberikan sumbangan bagi karya perutusan Gereja di tengah-tengah dunia
(Jacobs, 1981: 314-315). Karena oleh kebangkitan Yesus Kristus tidak ada
diskriminasi lagi antara laki-laki dan perempuan “Semua yang dibaptis ke dalam
Kristus, telah mengenakan Kristus. Tidak ada lagi orang Yahudi atau orang
Yunani, budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, sebab semua bersatu
dalam Yesus Kristus” (Gal 3:27-28).
Sebagaimana ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus XXIII melalui Konsili
Vatikan II, bahwa Gereja harus semakin terbuka terhadap segala macam persoalan
yang terjadi dalam masyarakat umum dengan tujuan demi pembaharuan ro hani
dalam terang Injil, penyesuaian dengan tanda-tanda jaman untuk menanggap i
tantangan jaman modern, dan pemulihan persekutuan penuh antara segenap Umat
Kristen. Ajakan Sri Paus dapat dipahami sebagai ajakan bagi umat Katolik untuk
menyadari bahwa sebagai anggota Gereja harus semakin peka terhadap situasi
masyarakat. Kesadaran ini mempunyai konsekuensi bagi seluruh anggota Gereja,
baik laki-laki maupun perempuan untuk lebih mencermati secara kritis bagaimana
sikap dan tindakan Yesus dalam menanggapi masalah kemasyarakatan pada jaman
itu. Dengan demikian, Gereja yang diutus untuk melanjutkan karya Yesus tidak
kehilangan arah. Melalui Ko nsili Vatikan II Gereja Katolik diharapkan lebih
berperan sebagai pemersatu bangsa-bangsa, aktor so sial dalam per ubahan
masyarakat, serta memberi arah menuju masyarakat yang lebih adil dan damai. Visi
Gereja ke arah keadilan dan perdamaian ini memberi tugas kepada seluruh anggo ta
Gereja baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi rasul-rasul keadilan
(Nunuk Murniati, 1997: 82-83).

0 komentar: